Rabu, 16 September 2020

5 Langkah Awal Untuk Jadi Penulis

1. Berguru kepada Buku

Apa mula-mula yang harus dilakukan seorang yang ingin menulis? Jawabannya membaca. Sekian banyak penulis menegaskan pentingnya banyak membaca sebelum menulis. Anton Kurnia bahkan menyebut bahwa membaca, membaca, dan baru kemudian menulis. Sementara mas Mashdar Zainal meneybut menulis itu pekerjaan menuang. Dan untuk menuang, maka harus ada isi yg dituang. Satu-satunya isi ulang (sebelum dituang) adalah membaca. Pada dasarnya, menulis itu satu paket dengan membaca. Siapa yang mau jadi penulis, maka dia tidak boleh malas membaca.
Membaca buku merupakan guru terbaik bagi seorang penulis. Hampir semua penulis besar dunia belajar menulis dengan membaca buku. Tak kalah banyak juga penulis yang tergerak untuk menulis setelah mereka membaca sebuah buku. Dengan demikian, membaca buku tidak sekadar untuk mengisi tabung pikiran kita dengan materi tulisan, tapi sekaligus juga untuk belajar tentang menulis itu sendiri. Membaca adalah latihan menulis yang pertama kalinya.
Agatha Christie tergerak menulis seri Hercule Poirot setelah di masa kecilnya dia banyak membaca seri Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Karl May bahkan mampu menuliskan seri Winnetou yang legendaris itu hanya dari membaca buku. Dia sama sekali belum pernah pergi ke Wild West di Amerika Serikat saat menulis seri Winnetou yang amat deskriptif menggambarkan kehidupan suku indian itu. Bahkan, JK Rowling belajar menulis seri Harry Potter dari karya-karya Shakespeare dan Jane Austen. Memang demikian, setiap penulis biasanya memiliki penulis atau buku favoritnya.
Tidak perlu ngoyo membaca demi bisa menulis. Pertama kali, kau harus mencintai kegiatan membaca dulu supaya bisa menjadi calon penulis. Hampir mustahil ada penulis yang tidak suka membaca. Kalau malas membaca, mungkin banyak. Kebanyakan penulis besar suka membaca—entah di masa kecilnya—maupun di masa dewasanya. Mereka memahami sepenuhnya bahwa jika kita ingin karya kita dibaca orang lain, maka kita juga harus mau membaca karya orang lain. Jadi, langkah pertama, banyak-banyaklah membaca untuk bisa banyak menulis.

2. Mengoleksi Kata-Kata
Selain buku (dan cinta), ada satu lagi koleksi para penulis besar: koleksi kata-kata. Koleksi perangko atau komik sih wajar, tapi gimana ceritanya dengan koleksi kata-kata? Bisakah kata-kata dikoleksi? Bisa banget. Zaman sekarang, cinta aja bisa dikoleksi, apalagi kata-kata,hehehe. Tentunya, mengoleksi kata-kata ini adalah di pikiran kita, bukan di album kenangan mantan yang bikin baper tiap kali di buka. Pikiran kita adalah gudang penyimpanan terbesar di dunia, mengalahkan harddisk eksternal kalian yang lebih banyak berisi drakor ketimbang ebooks itu. Dalam gudang informasi terbesar inilah kata-kata tersimpan, dikumpulkan, dan dikoleksi hingga tiba saatnya kelak dikeluarkan atau dipergunakan pada saat yang tepat, salah satunya saat menulis.
Sebagai penulis, kita dituntut untuk bisa menyampaikan sesuatu dengan kata yang tepat, istilah yang pas, nada kata yang bisa berdenting sesuai irama yang dibawa kalimatnya. Dengan demikian, semakin kaya koleksi kata yang kita miliki, maka akan semakin kaya pula tulisan yang bisa kita hasilkan. Ada dua cara paling manjur untuk menambah koleksi kata-kata ini: membaca dan berkomunikasi. Untuk membaca, sudah tidak perlu Mimin ulas lagi betapa ampuhnya membaca dalam menambah koleksi kata-kata. Pada kenyataannya, tidak ada yang mampu mengalahkan aktivitas membaca dalam hal memperkaya koleksi kata-kata kita.
Langkah kedua adalah berkomunikasi: yakni berinteraksi dengan orang lain. Dengan bahasa yang lebih kekinian, bergaul dengan orang lain. Berbincang, mengobrol, mendengarkan ide dan kisah orang lain kadang dapat memperkaya koleksi kata kita. Ini terbukti pada bayi dan anak-anak, yang mendapatkan sebagaian besar koleksi kata-kata mereka dari mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh orang tua, keluarga, dan guru, serta dari film yang mereka tonton (salah satunya kata ‘Boy’). Tetapi, perlu ditekankan di sini bahwa mendengarkan merupakan penyerap kata-kata yang jauh lebih efektif ketimbang berbicara.

3. Ikut Kursus Menulis
Pendidikan itu perlu, termasuk dalam hal tulis-menulis. Memang tidak semua penulis besar ikut menjalani kursus atau sekolah menulis. Beberapa penulis seperti Ian Flemming dan Agatha Christie mengaku tidak pernah ikut sekolah menulis di masa mudanya. Agatha bahkan mengaku tidak suka menulis saat kecil, bahkan Ian Flemming (penulis James Bond) bahkan baru menulis saat usia 43 tahun setelah sebelumnya bekerja sebagai wartawan. Tapi, bahkan menjadi wartawan itu sendiri ibaratnya adalah sekolah menulis juga kan?
Untuk banyak penulis lain, terutama kita yang masih awam, mengikuti kursus menulis kadang perlu dan memang dibutuhkan. Banyak kita yang mungkin sedikit memiliki bakat penulis dalam darah kita, dan karena itulah diperlukan sesuatu yang dapat mengalahkan bakat, namanya ketekunan. Mengikuti kursus atau latihan atau seminar menulis adalah salah satu wujud dari ketekunan tersebut. Selain itu, mengikuti pendidikan menulis juga akan mengenalkanmu pada dunia menulis. Ibaratnya seperti try out SPMB, agar kita tidak kaget dengan suasananya.
“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.” (Seno Gumira Ajidarma)
Sebelum menuliskan cerita pendeknya yang pertama, penulis klasik Prancis, Guy de Maupassant, bahkan harus belajar menulis dulu selama 7 tahun kepada Gustave Flaubert. Tapi, hasilnya langsung terlihat, cerpen pertamanya itu langsung dipuji-puji kritikus dan banyak dibaca. Kita jangankan sembilan tahun, ikut seminar kepenulisan selama 90 menit saja sudah malas. Itu pun yang 60 menit habis buat melototi layar hape.emoticon-Smilie)

4. Mengintip Kebiasaan Para Penulis
Tidak ada yang mampu menandingi efektivitas belajar langsung dari ahlinya, termasuk dalam hal menulis. Selain membaca, guru terbaik para penulis adalah para penulis lainnya. Setiap penulis yang baik terinspirasi dan menginspirasi penulis lainnya; begitulah cara kerjanya (ingat kasus Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle). Siapa penulis favoritmu? baca dan koleksilah semua karyanya, amati dan perhatikan bagaimana pola dan gaya tulisannya. Kalau ada, follow akun medsosnya, ikuti dan kepoin semua buku dan info terbaru tentangnya. Tirulah semangatnya dalam berkarya. Sebagai awal, tidak apa-apa kita meniru gaya penulis favorit kita, lama-lama kita akan terasah untuk menemukan gaya menulis kita sendiri. Siapa tahu, kau akan terpengaruh untuk ikut semangat dalam berkarya. Zaman keterbukaan informasi dan media sosial sekarang ini, banyak jurnal pribadi (blog) penulis yang dapat kita 'curi' ilmunya dengan mengikuti tulisan-tulisan mereka.

5. Menulis rutin atau rutin menulis
“Menulis itu menulis itu menulis itu menulis itu menulis itu menulis itu menulis itu menulis.” (Gertrude Stein)
Tidak ada latihan menulis yang sebaik menulis itu sendiri. Kepada mereka yang baru memasuki dunia kepenulisan, sering-seringlah menulis untuk mengejar para seniormu. Lebih baik lagi kalau bisa menulis secara rutin, setiap hari. Kegiatan ini akan melemaskan otot-otot menulismu, membuatnya makin terampil. Karena menulis ibarat berenang, semakin sering kita melakukannya maka akan semakin mahir kita
Bahkan ketika sedang tidak ada kesempatan untuk menulis, tetaplah menulis meskipun kau harus melakukannya di dalam kepalamu. Menulis dalam kepala? Bagaimana pula ini? Pensilnya pakai apa? Masukin kertasnya gimana? Maksudnya menulis dalam kepala adalah mengolah bakal tulisan kita dalam kepala: misal memikirkan alur, mencari ide buat bab selanjutnya, dll. Menulis dalam kepala ini bisa kita lakukan sambil menunggu, sambil tiduran menunggu kantuk, atau sambil entah ngapain di WC. Menulis di kepala ini tentunya harus diikuti dengan mencatatnya di kertas nyata agar ide bagus tadi tidak hilang begitu saja. Jadi, setelah ditulis di dalam kepala,c epat-cepat dipindahkan ke atas kertas atau dalam folder laptop agar bisa kita lihat lagi nanti. Meskipun otak adalah organ yang hebat, organ yang satu itu juga rawan ‘konslet’ dalam kondisi tertentu, pas lagi galau dan baper misalnya.
Setelah membaca, mengumpulkan kata-kata, ikut kursus menulis, mencontek penulis asli; maka menulislah. Karena hanya yang menulislah yang akan menjadi penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar